Sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah, masyarakat patutnya memanfaatkan hal tersebut dengan bijak melalui kebijakan yang sudah diatur pemerintah. Agar nantinya, SDA tersebut memiliki nilai guna yang tinggi serta bermanfaat luas. Namun sayangnya, banyak ‘tangan-tangan’ curang yang mendirikan tambang ilegal Indonesia alias Pertambangan Tanpa Izin (PETI) sampai saat ini.
Sejatinya, bisnis legal di pertambangan adalah mereka yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Mengantongi izin, mereka bisa mengeksplorasi dan memproduksi bahan jadi dari hasil tambang sesuai perjanjian kontrak dengan pemerintah.
Namun, hal ini tak berlaku bagi tambang ilegal Indonesia yang asal keruk demi keuntungan semata. Sederhananya, tambang ilegal Indonesia alias PETI kerap melakukan kegiatan memproduksi mineral maupun batu bara perseorangan atau perusahaan tanpa izin, tidak memiliki prinsip pertambangan yang baik serta memadai, dan berdampak negatif bagi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pada tahun 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan mencatat ada 2.741 lokasi PETI di Indonesia yang terdiri dari 96 lokasi tambang ilegal batu bara dan 2.645 lokasi tambang ilegal komoditas mineral. Walau menurun, namun untuk jangka waktu setahun hal tersebut terbilang sedikit karena masyarakat maupun pemerintah tak pernah tahu pasti berapa banyak hasil tambang yang sudah ‘dikeruk’ oleh tambang ilegal tersebut.
Lalu, bagaimana fenomena PETI ini masih mengakar di Indonesia? Hal ini disebabkan karena minimnya langkah penindakan oleh pihak berwenang. Hasil laporan dari Kementerian Ridwan Djamaluddin, penambang ilegal rupanya tak hanya mentargetkan lokasi tambang tak bertuan melainkan wilayah dengan IUP milik perusahaan sah. Ia memaparkan bahwa pihaknya sudah melakukan tindakan hukum, namun hal tersebut terjadi lagi.
Ahmad Redi, selaku pakar hukum pertambangan dan dosen Fakultas Hukum Univ. Tarumanegara, berpendapat bahwa pihak berwenang harus bertindak tegas agar PETI di Indonesia bisa terselesaikan. “Adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan, dan kurangnya fasilitasi perizinan. Itu penyebabnya.”
‘Menjamurnya’ PETI di Indonesia tentu merugikan negara. Sebab kegiatan ilegal ini berpotensi menghilangkan pemasukan negara. Tak hanya itu, PETI juga berdampak pada menghambatnya pembangunan daerah, memicu konflik sosial, keamanan yang rendah, fasum yang rusak, dan gangguan kesehatan.
Sebuah industri pertambangan dengan IUP dan diawasi oleh negara, sudah pasti berkontribusi melalui setoran pajak serta investasi yang diberikan. Sayangnya, PETI tak melakukan hal ini. Tentu merugikan, kan?
Lalu, apa langkah yang sudah dilakukan oleh negara, terutama Kementerian ESDM untuk mengatasi tambang ilegal Indonesia? Sejauh ini, PETI sekadar diatasi dengan inventarisasi lokasi, penataan wilayah tambang dukungan, regulasi pertambangan rakyat, pendataan dan pemantauan. Tindakan ini dinilai minim penegakan hukum yang terkesan membiarkan. Akibatnya, tambang ilegal Indonesia masih menjamur dan pelaku PETI tak jera untuk melakukan kembali atau bahkan buka ‘cabang’.
Fenomena PETI di Indonesia menjadi sebuah tanda bahwa Kementerian ESDM masih memiliki pekerjaan rumah atau PR besar di dunia pertambangan. Khususnya agenda ‘bersih-bersih’ pelaku tambang ilegal Indonesia. Sebab, ketika industri pertambangan dengan IUP berusaha mendorong Indonesia untuk menuju negara maju dan ‘megah’ di mata dunia, sayangnya PETI masih merajalela dan merugikan negara.
Discussion about this post