Impian Indonesia untuk menuju negara penghasil minyak 1 juta barel per hari pada tahun 2030 tak kunjung muncul batang hidungnya. Sebab, per September 2022, lifting minyak hanya mencapai 610.100 barel per hari. Capaian ini bahkan di bawah target APBN 2022 yakni 703.000 per hari.
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di Indonesia hingga terjadi kemerosotan lifting minyak, ya? Kamu perlu tahu bahwa lifting migas di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ada sederet sengkarut yang wajib kalian ketahui di tengah cita-cita menuju 1 juta barel. Simak di bawah ini!
1. Masalah Teknis dan Sumur yang makin Tua
Layaknya sumber daya alam lainnya, sumur minyak yang ada di Indonesia bisa semakin habis dan ‘tua’ alias sudah melewati masa produksinya. Sedangkan sampai saat ini Indonesia belum menemukan cadangan besar selepas penemuan minyak di Blok Cepu pada tahun 2000-an.
Selain itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memaparkan, turunnya lifting karena masalah operasional. Salah satunya longsor di wilayah kerja ExxonMobil Cepu Ltd di Bojonegoro, Jawa Timur, yang mengakibatkan pipa minyak tidak layak dioperasikan.
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, mengamini kendala dalam mewujudkan target 1 juta barel tersebut. Adanya unplanned shutdown, fasilitas di beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan penurunan produksi alamiah.
2. Teknologi EOR Sulit Diterapkan
Teknologi EOR (enhanced oil recovery/EOR) diklaim bisa menjadi metode pengurasan minyak tingkat lanjut serta meningkatkan produksi. Namun nyatanya, penerapan teknologi EOR ini sulit untuk dilakukan! Hal ini dikarenakan EOR butuh investasi yang tidak sedikit. Keekonomian minyak, bergantung pada kondisi di lapangan, menjadi penting sebelum metode tersebut diterapkan.
Indonesian Petroleum Association (IPA) menjelaskan, selain sulit diterapkan, teknologi EOR butuh waktu yang lama. Hal ini dinyatakan oleh Vice President IPA, bahwa penggunaan EOR membutuhkan proses perencanaan, studi, pencocokan metode dengan karakter sumur minyak dan pengembangan.
Menurutnya, ketika zat kimia EOR disuntikkan ke sumur minyak, produksi tidak secara otomatis langsung meningkat. Sebab, harus menunggu reaksi kimia agar minyak tertangkap dan bisa keluar sumur.
“Ketika kamu inject tidak akan langsung produksi. Itu perlu waktu. Ada proses dalam tanah agar reaksi kimia supaya minyak terperangkap,” jelasnya.
3. Cadangan Minyak yang Tidak Segera Dieksplorasi
Teknologi canggih EOR memang sudah dicanangkan, namun apa artinya jika metode tersebut tidak dibarengi dengan eksplorasi lanjut terhadap penemuan cadangan baru?
Dikutip Kompas, pemerintah menyampaikan bahwa sumber daya migas Indonesia masih besar. Hal ini ditandai dengan ditemukannya 74 cekungan hidrokarbon di Indonesia yang belum diteliti. Cekungan tersebut banyak ditemukan di wilayah timur Indonesia dan perairan dalam. Namun, temuan cekungan tersebut tak segera dieksplorasi. Apalagi tahap tersebut butuh sumber daya besar seperti teknologi, riset, dan waktu yang lama mengingat jumlah cekungan lebih dari 70-an.
Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, menjelaskan kalau target 1 juta barel mustahil terjadi jika kejelasan dari detail program kerjanya belum ada. Salah satunya, lapangan mana saja yang akan jadi target produksi, kapan waktu dieksplorasi, dan siapa yang akan merealisasikan.
Senada, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, target 1 juta barel susah dicapai tanpa adanya temuan cadangan yang besar.
4. Iklim Investasi yang Tidak Kondusif
Sebuah proyek besar tentu membutuhkan investasi untuk keberlangsungan pembangunan. Tak cukup eksplorasi, insentif fiskal dan nonfiskal harus berjalan pula untuk mendorong minat investasi hulu migas di Indonesia. Nah, untuk menarik minat investor di bidang migas, dibutuhkan skema bagi hasil yang fleksibel tergantung kondisi ekonomi lapangan. Hal ini dinilai ampuh karena iklim investasi di Indonesia masih belum aman di mata investor karena perizinan serta birokrasi yang ribet.
Mengutip data Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari skala 0 sampai 5, nilai Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas hanya 2,4, ini masih di bawah rata-rata dunia yakni 3,3. Beberapa hal yang harus dibenahi adalah penyederhanaan birokrasi, kontrak bagi hasil yang fleksibel, insentif fiskal dan nonfiskal, serta perbaikan data migas.
Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan kalau iklim investasi migas RI yang kurang kompetitif membuat target 1 juta barel susah tercapai.
“Untuk bisa mencapai 1 juta barel, secara kalkulasi memerlukan tambahan produksi dari lapangan-lapangan migas skala besar yang di dalam kenyataan, umumnya atau mayoritas dihasilkan dari investasi-investasi skala besar yang dilakukan oleh major international oil companies (IOCs),” terangnya.
Impian Indonesia untuk mencapai 1 juta barel per hari sepertinya masih menjadi angan dan mimpi jika masalah di atas tidak segera terselesaikan. Atau, jangan-jangan ini hanya fantasi belaka? Lalu, kita harus bagaimana agar impian tersebut tak sirna oleh waktu? Siapa yang sepatutnya mengambil sikap dan bertanggung jawab untuk menjemput impian itu?
Apalagi ketergantungan terhadap impor yang tinggi, tercatat, sejak 2004 Indonesia masih jadi negara pengimpor bersih minyak! Kebutuhan bahan bakar minyak untuk konsumsi dalam negeri yang mencapai 1,4 juta barel per hari sampai 1,5 juta barel per hari tak sanggup dipenuhi dalam negeri lagi.
Pemerintah terutama Kementerian ESDM yang memiliki fokus kerja pada sektor energi di Indonesia sepatutnya memperbaiki diri agar investor hulu migas berminat investasi di Indonesia. Jangan sampai cita-cita 1 juta barel ini hanya fantasi belaka yang sekadar diucap manis sebagai cita-cita namun realisasinya dilupakan hingga menimbulkan sengkarut serta mangkrak.
Discussion about this post