Berita tentang penurunan harga tes PCR oleh pemerintah sedang menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Pada awal pandemi harga tes PCR diketahui mencapai Rp1,5 juta hingga turun drastis menjadi Rp275 ribu pada saat ini. Sehingga menimbulkan kasus bisnis PCR yang diduga dimainkan oleh para petinggi negara.
Penurunan harga PCR ini ternyata diikuti oleh kebijakan pemberlakuan tes PCR di semua moda transportasi dan menuai reaksi para tokoh. Salah satunya datang dari publik figur yang lumayan terkenal di masa pandemi Covid-19 yaitu dr. Tirta.
Dalam cuitan di akun Twitter-nya, @tirta_cepeng, dr. Tirta mengatakan kebijakan ini aneh, “Peraturanmu wagu,” sambil me-mention akun Twitter Kementerian Perhubungan.
“Mencegah mobilitas ya naikan aja level PPKM-nya,” lanjut dr. Tirta
Hal yang perlu dipahami adalah seharusnya penurunan harga tes PCR tersebut menjadi kabar baik bagi masyarakat. Namun, nyatanya hal itu membuat masyarakat mencurigai adanya bisnis PCR yang untungnya diraup oleh beberapa pejabat negara, salah satunya nama Luhut Binsar Pandjaitan.
Meskipun kecurigaan itu benar adanya, namun melalui juru bicaranya, Jodi Mahardi, Luhut menegaskan bahwa dirinya tidak mencari untung atau bermaksud untuk membisniskan tes PCR selama pandemi Covid-19 berlangsung.
Jodi juga membantah bahwa PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang terafiliasi dengan Luhut tidak pernah bekerja sama dengan BUMN ataupun pemerintah. Perusahaan ini diklaim terbentuk oleh pihaknya hanya berupa kewirausahaan sosial saja bukan untuk mencari untung bagi para pemegang saham.
Refly Harun, ahli dan pakar hukum tata negara pun menanggapi terkait dengan hal tersebut. Bila dipahami lagi, jika memang perusahaannya tidak mencari untung mengapa biaya PCR-nya bisa mahal.
“Tapi kalau tujuan bikin perusahaan itu untuk cari untungnya, kalau tidak cari untung buat yayasan saja,” ujar Refly Harun.
Menurut Refly, persoalan ada pada Luhut yang memasuki ranah bisnis saat dirinya menjabat, apalagi jabatannya tersebut terkait dengan kebijakan penanganan Covid-19. Seharusnya Luhut dapat memisahkan antara kepentingan kekuasaan dan kepentingan bisnis. Kekuasaan di tangan kanan, sementara bisnis di tangan kiri.
“Tapi kalau di satu tangan maka disitulah orang melihatnya ada benturan kepentingan Conflict of Interest. Jadi bukan soal angka-angkanya karena kalau angkatan relatif orang bisa berdebat,” tambahnya.
Reaksi lain dilontarkan oleh pengamat politik, Rocky Gerung yang ikut angkat suara. Tak hanya Luhut, Rocky juga menyoroti Presiden Jokowi dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi.
Rocky mengatakan, seharusnya jika isu tersebut benar, ketiganya harus memberi tahu dari awal kepada publik. Dengan mereka yang memilih diam dan tidak angkat bicara justru malah membuat masyarakat curiga jika mereka juga dapat keuntungan (cashback) dari bisnis PCR tersebut.
“Mestinya dari awal diketahui oleh presiden atau kalau enggak ya Luhut tau, Menkes tau, toh mereka nggak ngomong,” ujar Rocky Gerung.
Rocky juga melanjutkan, “Artinya yang mereka tau dari awal ngomong tapi dibiarkan, karena ada cashback,” sambungnya.
Sementara, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu juga turut mengutarakan kecurigaannya terhadap bisnis PCR. Melalui cuitannya di Twitter, Said Didu menilai bahwa selama ini tes PCR telah dijadikan sebagai ladang bisnis.
“Kewajiban PCR dengan turunnya harga mulai dari Rp2 juta menjadi Rp300 ribu meningkatkan kecurigaan terhadap ‘bisnis’ PCR,” tulis Said pada Selasa (26/10/2021).
Turunnya harga tes PCR dari mahal menjadi murah itu membuat Said Didu menyimpulkan bahwa sebenarnya sejak lama masyarakat bisa melakukan tes PCR dengan harga Rp300 ribu saja.
“Jika sekarang bisa dengan harga Rp300 ribu, artinya biayanya di bawah Rp300 ribu ,” jelas Said Didu.
Setelah mengkritik tajam mengenai biaya tes PCR, Said Didu lalu mengajak masyarakat untuk menghitung keuntungan yang didapatkan sejumlah pihak dari mahalnya harga tes PCR sebelum diturunkan.
“Mari menduga berapa untung yang sudah mereka nikmati dibalik aturan selama ini?” pungkasnya.
Berbeda dengan Said, Denny Siregar justru menyebut bahwa Luhut telah membongkar boroknya sendiri. Menurutnya, persoalan ini terjadi akibat ego sektoral para menteri karena mencoba mencari keuntungan sendiri-sendiri.
“Itulah, ya enggak korupsi uang mereka korupsi kebijakan. Dan ini sudah dipupuk sejak Orde Baru,” ungkapnya.
“Kalau serakah, jangan salahkan rakyat yang bikin saluran komunikasi sendiri, yang bisa membongkar semua yang tersembunyi rapat-rapat. Saya bela pemerintah soal kebijakan, tapi saya nggak bela oknum pejabat demi keuntungan pribadi,” tambahnya.
Tak ketinggalan, Ketua Majelis Utama Indonesia (MUI), Cholil Nafis juga ikut membuka suara dalam isu tes PCR yang diduga dijadikan sebagai sebuah bisnis. Melalui cuitan Twitternya ia menyebutkan tentang kezaliman yang dilakukan peraup keuntungan dari bisnis tes PCR.
“Bisnis itu sunnah Nabi Muhammad SAW. Tapi mengeksploitasi Covid-19 untuk bisnis PCR, bahkan sengaja bikin kebijakan untuk kepentingan bisnis pribadi, itu pasti kezaliman,” tulis Cholil Nafis.
Discussion about this post