Belakangan ini, sosok pejabat di kabinet Jokowi kembali menjadi perhatian. Pasalnya setelah sosok ini diduga ikut andil bermain di bisnis pertambangan Blok Wabu, kali ini ia juga dikabarkan berada di pusaran bisnis PCR. Polymerase chain reaction (PCR) adalah sesuatu yang tak asing selama masa pandemi ini. Dulunya, tes PCR hanya wajib dilakukan jika hendak bepergian dengan moda transportasi pesawat atau kereta.
Perihal bisnis PCR, muncul dugaan bahwa perusahaan yang memfasilitasi laboratorium untuk menguji hasil tes PCR yaitu PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), diketahui terafiliasi dengan dua perusahaan miliknya yaitu PT Toba Sejahtera dan PT Toba Bumi Energi. Tidak tanggung-tanggung, kedua anak usaha pejabat tersebut mengantongi 242 lembar saham senilai Rp242 juta di GSI.
Meski sekarang harga tes PCR sudah turun menjadi Rp300.000 karena diperintah oleh Presiden Jokowi, tetapi jika kita kalkulasikan secara awam dengan asumsi bahwa perusahaan sesepejabat memiliki saham mentok 10% saja, maka ia bisa meraup untung Rp30 triliun per 1 juta orang yang swab test RT-PCR!
Angka Rp30 triliun ternyata tidak jauh beda dengan yang diungkap oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan yang terdiri dari ICW (Indonesia Corruption Watch) YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru. Koalisi tersebut mengungkapkan fakta bahwa setidaknya ada Rp23 triliun uang berputar pada bisnis PCR.
Amanda Tan mewakili LaporCovid-19 di koalisi tersebut, menyatakan perputaran uang yang sudah triliunan ini tentu saja semakin tajam kala adanya kebijakan penggunaan PCR di seluruh moda transportasi, “Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih,” ujar Amanda Tan dalam keterangannya pada Minggu (31/10).
Dan betul saja, pemerintah melalui Kemenhub dan juga sosok ini yang sekarang masih menjabat sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali mengeluarkan kebijakan bahwa Swab test RT-PCR akan diberlakukan ke semua moda transportasi dengan jarak jauh 250 km. Hal ini, sih, dikatakan demi menekan lonjakan Covid-19 di libur Nataru. Walau di hari Senin (1/11), Pemerintah kemudian meralat bahwa transportasi udara tidak termasuk di kebijakan ini.
Apakah kebijakan ini dibuat demi bisnis PCR-nya tetap mendapatkan pundi uang meski harga swab test RT-PCR sudah turun dari Rp2 jutaan dulunya menjadi Rp300 ribuan? Jika benar, bukankah ini namanya mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat namun berkedok kebijakan pemerintah demi uang tetap mengalir ke sakunya?
Discussion about this post