Setelah gencar melakukan pencabutan IUP bisnis tambang sejak awal tahun 2022, hingga kini masih banyak pebisnis yang mempertanyakan; sebenarnya siapa yang memiliki ranah pencabutan untuk IUP bisnis tambang? Apakah ESDM atau BKPM?
Keresahan ini yang mengantarkan saya bertemu dengan Armando, kawan saya di bidang bisnis tambang Maluku. Walau kami memiliki ranah bisnis yang berbeda, saya di sektor poultry, ia di bidang mining, tapi ada poin menarik yang berhasil membuat saya tercengang. Ia memaparkan, pemerintah (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)) berhasil bikin pemilik IUP bingung gegara pencabutan IUP.
Menurut kawan saya tersebut, izin yang dibuat oleh kedua lembaga itu terkesan tumpang tindih. Ditambah, kedua lembaga tersebut memiliki sinergi yang buruk.
Mengacu pada pasal 199 UU No. 3/2020 tentang perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IUP dan IUPK bisa dicabut oleh pemerintah kalau pemegang izin tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP.
Selain itu, PP No. 96/2021 pasal 185 dinyatakan kalau sanksi administratif untuk pencabutan terdiri dari tiga tahap yakni peringatan tertulis, penghentian sementara, dan terakhir pencabutan. Adapun selain itu perusahaan harus membayar denda pula.
Namun sayangnya, pemerintah mengacu pada Keppres No. 1/2022 untuk melakukan pencabutan. Dalam pasal 3 Keppres tersebut disebutkan kalau Presiden memberikan mandat kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM untuk melakukan pencabutan IUP.
Yang menjadi pertanyaan besar, sebenarnya pencabutan IUP ini ranah siapa? Kawan saya Armando bertanya pada saya, seraya berharap tahu jawabannya. Tapi kebetulan saya juga tidak mengetahui hal tersebut, barangkali pembaca tahu?
Tetapi, saya kemudian penasaran dan menggali lebih dalam mengenai tumpang tindih regulasi tersebut, apakah ada dampak besar bagi perusahaan atau negara? Rupanya ada. Dampak tersebut disampaikan oleh APNI, lembaga tersebut berujar kalau keputusan pemerintah ini akan berdampak pada berkurangnya potensi penerimaan negara khususnya pada penerimaan negara bukan pajak dan royalti sebanyak 10 persen. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, penerimaan pajak pada sektor pertambangan meningkat paling pesat pada semester I 2022 sebanyak 286,8 persen.
APNI juga mengatakan kalau regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah bisa dikatakan tumpang tindih. Terutama ketika pencabutan IUP yang gencar dilakukan rupanya tanpa melewati proses tahapan yang diatur PP 96/2021. Kalau kata APNI, tumpang tindih ini jadi pertanda koordinasi ESDM dan BKPM tidak berjalan dengan lancar.
“Kami bingung, kami sudah dapat SK pencabutan tapi dari kementerian lain masih memberikan surat peringatan, masih tercatat IUP di Kementerian ESDM. Kami mau lihat ke yang mana? Apakah ESDM dengan mengindahkan sanksi administrasi, atau SK pencabutan dari BKPM?” papar APNI.
Kembali lagi ke permasalahan pertambangan yang dialami oleh Armando. Jika saya adalah seorang pebisnis pertambangan di Indonesia serta merasakan apa yang dikatakan APNI, sepertinya saya juga akan mengalami kebingungan. Seharusnya mereka sudah bisa konsentrasi untuk memproduksi, memberikan nilai tambah pada kekayaan alam Indonesia bahkan berkontribusi untuk negara. Namun karena regulasi yang berbelit, mereka harus tersendat.
Di akhir perbincangan kami, Armando menyatakan keraguannya, “apakah Indonesia sebenarnya tempat yang aman dan nyaman untuk berbisnis?” Barangkali Kementerian ESDM dan BKPM membaca keresahan ini, semoga dapat memberikan jawaban yang tepat, jelas, dan transparan.
Discussion about this post