Tahun 2022 sepertinya menjadi masa mencekam bagi pebisnis di bidang pertambangan, tak terkecuali pengusaha batu bara. Bagaimana tidak, Kementerian ESDM bikin geger pebisnis pertambangan setelah munculnya rentetan kebijakan yang dinilai tergesa-gesa. Contohnya pada 12 Januari 2022 lalu, mereka melakukan larangan ekspor batu bara.
Walaupun larangan ekspor batu bara itu hanya sementara, namun tetap saja bikin pengusaha batu bara kelimpungan. Ketika pengusaha batu bara tak bisa ekspor bahan tersebut yang dihargai lebih tinggi daripada pasokan ke dalam negeri untuk memenuhi kewajiban DMO harga rendah, tentunya profit perusahaan akan jauh berkurang atas hal ini. Dan, negara merasakan dampak tersebut dalam bentuk pengurangan kontribusi dari sektor pertambangan.
Larangan ekspor batu bara tersebut terjadi 11 hari saja. Walau begitu, dampaknya malah membikin rugi yakni sektor pertambangan mengalami penurunan kontribusi hingga 42,88 persen dengan nilai ekspor sebesar US$1,07 miliar. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit, kan?
Ridwan Djamaluddin selaku Dirjen Minerba ESDM memaparkan alasan melakukan kebijakan LE (lararangan ekspor) tersebut. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mengamankan pasokan batu bara di dalam negeri yang mulai kritis. Dikhawatirkan, jika tidak ada kebijakan LE maka 10 juta pelanggan terancam lampu mati.
Kebijakan tersebut memang terdengar baik di satu pihak, namun menurut Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, kebijakan ESDM yang sepihak tersebut dinilai terburu-buru di tengah upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemik.
“Anggota KADIN Indonesia banyak yang merupakan perusahaan pemasok batubara dan mereka telah berupaya maksimal untuk memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batubara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% yang sebagaimana diatur dalam Kepmen 139/2021, bahkan telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut sesuai harga untuk kebutuhan PLTU PLN dan IPP,” ujar Arsjad Rasjid selaku Ketua KADIN.
Pandu Sjahrir yang merupakan Ketua APBI (Asosiasi Penambang Batubara Indonesia), mengatakan pula bahwa keputusan ESDM tersebut terlalu terburu-buru dan minim pembahasan dengan pelaku usaha.
“Anggota APBI-ICMA telah berupaya maksimal untuk memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batubara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% di tahun 2021. Bahkan sebagian perusahaan telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut.” ujar Ketua APBI.
Kejadian tersebut berlangsung pada Januari 2022, namun tak berhenti di situ saja. Belakangan ini muncul ancaman dari ESDM untuk melakukan penyetopan batu bara, lagi! Hal ini disebabkan ada 20 perusahaan batu bara yang dinilai tidak patuh untuk pemenuhan DMO ke sektor PLN dan industri semen-pupuk.
Layaknya sebuah bara api, pengusaha batu bara tentu memiliki penyebab mengapa mereka melakukan hal tersebut. Lagi-lagi, hal ini dikarenakan tidak seimbangnya batu bara di pasar global dan dalam negeri. Lebih lenjut, Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) melalui Anggawira memaparkan bahwa adanya disparitas harga batu bara DMO dengan harga pasar.
Menurutnya, harga batu bara ICE Newcastle Coal untuk kontrak September 2022 sudah berada di level US$ 375 per ton. Selisihnya dengan harga DMO untuk PLN adalah US$305 per ton dan untuk industri pupuk US$285 per ton!
Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengamini hal tersebut. Menurutnya, selisih harga jual DMO dan ekspor membuat pengusaha batu bara malas melanjutkan kontrak dengan PLN.
Oleh sebab itu, pebisnis batu bara membutuhkan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Pemungutan Iuran Batu Bara. Dengan adanya BLU, harga batu bara pasar global dengan DMO akan sama rata.
Kacaunya permasalahan pengusaha batu bara dengan pihak pengelola yakni Kementerian ESDM sudah membuat resah pebisnis pertambangan, tak terkecuali pebisnis di bidang mineral yang seakan mendapatkan “sinyal” bahwa setelah ini giliran mereka yang merasakan.
Benar saja, pemerintah baru-baru ini sudah memberikan “sinyal” untuk melakukan penyetopan komoditas mineral seperti tembaga, timah, dan bauksit dalam bentuk mentah bagi pasar ekspor. Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/BKPM merencanakan akan setop ekspor mineral mentah akhir 2022.
“Nikel kita stop, bauksit sebentar lagi akan kita stop di 2022, dan di 2022 akhir kita akan menyetop ekspor timah,” ujar Bahlil dalam acara Road to G20: Investment Forum Kementerian Investasi/BKPM, Rabu (18/5).
Di tengah-tengah momen percepatan pemulihan ekonomi, adanya larangan ekspor mineral ini tentu berisiko. Sebagaimana yang terjadi pada ekspor nikel pada tahun 2020.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad pernah mengatakan ada 3 dampak dari percepatan larangan ekspor diantaranya ketidakpastian bagi investor karena aturan dan hukum yang berubah-ubah, memunculkan ekspor ilegal hingga akhirnya bisa berdampak pada defisit transaksi berjalan (CAD).
Pengusaha bidang mineral tentu sudah pernah merasakan carut-marutnya pelarangan ekspor mineral tersebut jika dilakukan tergesa-gesa, seperti yang terjadi pada tahun 2020. Wajar jika pada akhirnya mereka resah hal tersebut dan akan berdampak pada perusahaan, serta pemasukan negara.
Discussion about this post