Ternyata dibalik moncernya kegiatan pertambangan di Indonesia, terdapat kisah miris yaitu pertambangan tanpa izin (PETI) yang masih marak. Berdasarkan data Kementerian ESDM, lembaga yang memayungi sektor pertambangan, per kuartal III/2022 masih ada sekitar 2.700 lokasi tambang ilegal dengan rincian 96 lokasi tambang energi dan 2.645 lokasi pertambangan mineral.
Mengapa PETI yang masih marak menjadi kisah miris? Pasalnya, PETI merugikan tak hanya masyarakat sekitar namun juga negara! PETI tentunya berbeda dengan pertambangan dengan izin resmi. Di PETI, pelaku usaha menambang dan memproduksi olahan sumber daya alam tanpa izin dan pengawasan. Belum lagi jika ternyata mereka tak punya prinsip penambangan yang baik. Bisa-bisa, malah membawa dampak buruk bagi lingkungan dan perekonomian masyarakat sekitar.
Ada beberapa alasan mengapa PETI bisa-bisanya masih marak di Indonesia, salah satunya karena penegakan hukum kepada pelaku pertambangan yang melakukan tindakan menyimpang belum tegas.
Pemicu banyaknya PETI di Indonesia diungkap oleh Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi). Menurut Rizal, PETI bisa tumbuh besar karena lemahnya penegakan hukum disaat harga komoditas tambang meroket. Lemahnya hukum juga dilihat dari meski adanya ancaman pidana maupun perdata, PETI tetap berlangsung tanpa kendala.
“Maraknya PETI karena enam hal, yaitu komoditas tambang yang mudah ditambang; mudah diolah (teknologi sederhana); mudah dijual, pasarnya terbuka sekali; harga komoditas yang tinggi dan sangat menguntungkan; cadangan berlimpah dan dekat permukaan; serta pengawasan, penindakan dan penegakan hukum rendah,” papar Rizal lebih lanjut.
Bahkan ternyata tak hanya masyarakat dan ahli pertambangan yang menyadari kurangnya pengawasan negara, dari pihak Kementerian ESDM juga mengamini bahwa upaya mereka belum maksimal. Rida Mulyana selaku Sekjen Kementerian ESDM mengatakan pengawasan pengelolaan sumber daya energi dan juga sumber daya mineral yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) belum cukup. ESDM pun juga berencana membentuk unit baru yang berfokus pada penegakan hukum kepada pelaku pertambangan melakukan penyimpangan.
Namun apakah dengan hanya membentuk unit baru lantas permasalahan PETI yang masih marak bisa selesai? Terlebih pemerintah mempunyai tak hanya ratusan namun hingga 2 ribu lebih tambang ilegal yang harus dientaskan. Apakah semua itu bisa terselesaikan dalam waktu singkat?
Dan jangan lupa, pertambangan ilegal tak hanya terjadi satu wilayah yang menyimpan sumber daya alam melimpah saja, namun hampir di berbagai wilayah Indonesia Contohnya, di bulan Agustus 2022 kemarin, Polda Kalimantan Tengah berhasil mengungkap 4 kasus pengoperasian PETI di wilayahnya dan menetapkan 9 orang sebagai tersangka.
Pulau Sulawesi juga sama. Bahkan di tahun ini juga, Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Wilayah Sulawesi bersama tim gabungan berhasil menangkap pelaku penambangan ilegal di juga dalam kawasan hutan di Mamuju Tengah, Sulawesi Barat dan Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. PETI yang ada di Parigi Moutong merupakan 1 dari 13 PETI yang dilaporkan terjadi di Sulteng oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Sulawesi Tengah.
Sedangkan di Pulau Jawa, baru-baru ini Polda Jateng juga mengungkap 23 kasus pertambangan ilegal batu bara dan menetapkan 22 tersangka. Yang fantastis, diketahui kerugian dari pertambangan ilegal di Jateng bisa mencapai Rp7,2 M!
Sesunguhnya ini menjadi bukti bahwa Kementerian ESDM selama ini tak melakukan pengelolaan secara menyeluruh; hanya meliputi perizinan bahkan tak merasa perlu melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kegiatan tambang yang ada di lapangan. Kalau dilakukan, tentunya tak akan Kementerian ESDM kecolongan sebanyak itu.
Discussion about this post