2 bulan lagi 2022 akan selesai dan dilanjutkan dengan 2023. Namun kabar tak menyenangkan menanti nih di 2023. Pasalnya perekonomian di 2023 dianggap akan ‘gelap’ dari tahun sebelumnya. Lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga hingga ancaman resesi senyatanya tak hanya menghantui dunia namun bahkan juga ke iklim investasi di RI pada 2023.
Meski selama ini laporan realisasi investasi RI terlihat gemilang dan melebihi target (mencapai Rp901,02 triliun di tahun 2021) namun ternyata peringkat pendapatan investasi dari luar negeri atau investasi asing malah merosot dari tahun sebelumnya.
Investasi asing di Indonesa turun dari peringkat 15 di 2020 ke peringkat 20 di 2021. Informasi ini berdasarkan data United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam World Investment Report 2022. UNCTAD mengatakan, melorotnya posisi Indonesia yang turun lima peringkat disebabkan lambatnya gerak kita untuk menggaet investasi asing, sehingga kalah cepat dari negara-negara lainnya di sepanjang tahun lalu.
Tak hanya karena gerak lambat, Indonesia juga dikritik lembaga internasional Institute for Management Development (IMD) dalam laporan berjudul World Competitiveness Yearbook 2022. Laporan tersebut mengungkap bahwa daya saing kemudahan berusaha di Indonesia turun ke peringkat 44 di tahun 2022 dari posisi 37 di tahun lalu.
Salah satu indikatornya ada pada efisiensi birokrasi yang buruk. IMD juga melaporkan bahwa Indonesia punya kendala dalam menciptakan ekonomi investasi dan kemudahan berusaha bagi investor karena salah satunya terkait regulasi dan kebijakan-kebijakan.
Ya, jika menilik kebelakang, Indonesia memang masih banyak mempunyai PR besar. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia menjelaskan alasan mengapa iklim investasi Indonesia belum sempurna. Katanya, ada 3 kendala penting yang masih dihadapi pemerintah yaitu perihal lahan, tumpang tindih hingga tingginya ego sektor lintas kementerian/lembaga.
Tak hanya regulasi yang belum bisa dibenahi oleh lembaga yang malah saling selisih, pengusaha juga ketiban pusing dari pemerintah yang mengeluarkan kebijakan pemungutan pajak dan kenaikan royalti yang tak menguntungkan pengusaha.
Masih fresh from the oven, pemerintah berencana memungut pajak ekspor progresif untuk 2 produk nikel hasil hilirisasi yaitu feronikel dan NPI. Ada juga kebijakan bagi pengusaha batu bara yang harus memasok ke pasar domestik dengan harga yang lebih murah ketimbang harga global. Selain itu, di sektor lainnya seperti timah, tarif royalti juga direncanakan akan naik sesuai dengan naiknya harga timah dunia.
Dari sinilah disadar satu hal, bahwa sebaiknya negara jangan hanya menyalahkan faktor eksternal seperti ancaman resesi global saja namun juga pelru melihat faktor-faktor internal dari dalam negeri. Terlebih yang harus diingat, investor memang akan lebih pilih-pilih dalam berinvestasi karena pasti lebih memilih untuk memulihkan negaranya terlebih dahulu. Namun, Indonesia selalu mempunyai peluang untuk membuat iklim investasi yang lebih bisa menarik investor asing, ‘kan?
Jangan sampai para investor bisa tak betah karena iklim investasi RI di 2023 nanti tak membaik dan malah terkena rayuan negara-negara lain yang mungkin lebih banyak memberikan kemudahan berinvestasi dan berusaha untuk investor asing. Kalau sudah begitu, semoga saja, pemerintah, khususnya kementerian-kementerian yang terkait dalam sektor ekonomi, sudah punya strategi untuk menghadapinya.
Discussion about this post