Kala melihat aksi demonstrasi mahasiswa yang menolak tegas perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi, Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah menyinggung konsekuensi hukum yang harus dihadapi masyarakat biasa vs pejabat publik.
Dalam cuitan di akun Twitter @FahriHamzah, Fahri menyoroti mahasiswa yang sedang berjuang menolak wacana 3 periode presiden bisa salah mengucapkan kata atau menyampaikan data, tidak dapat didelik dengan pidana pembohongan publik. Lain halnya jika ada pejabat publik yang berbohong. Pejabat publik wajib tak boleh lepas dari ancaman tersebut.
Padahal menurut Fahri, akibat ulah si pejabat yang membuat keonaran di publik, sebenarnya wajib dikenakan hukuman karena melakukan pelanggaran etik jabatan.
Mahasiswa, apabila salah mengucapkan kata atau menyampaikan data tidak dapat didelik dengan pidana kebohongan publik!. Pejabat publik yang berbohong lah yang dapat didelik dengan pidana kebohongan publik. Paling tidak mereka dapat disebut melakukan pelanggaran etik jabatan!
— #FahriHamzah2024 (@Fahrihamzah) April 17, 2022
Tentu saja sosok pejabat publik dimaksudkan Fahri Hamzah adalah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim bahwa dirinya mempunyai big data 110 juta warganet Indonesia yang menginginkan Pemilu 2024 diundur atau perpanjangan 3 periode presiden tetapi tak kunjung membuktikannya.
Fahri pun juga menyinggung kembali pada sebaran berita bohong yang pernah dilakukan Ratna Sarumpaet. Kala itu Ratna pun akhirnya dipenjara 2 tahun karena terbukti bohong.
Menurut Fahri, pejabat publik yang juga terbukti bohong, terlihat dari enggan membuka big data yang dia maksudkan hingga membuat onar tak bernasib sama seperti Ratna dan lepas dari konsekuensi hukum.
Menurut Fahri Hamzah, Luhut seperti berguyon kala menyampaikan hasil big data tersebut.
“Secara keseluruhan (big data, red) itu telah menjadi bagian dari ketidakseriusan kabinet di dalam bekerja menuntaskan sisa jabatan kabinet ini,” ujar Fahri.
Mengenai hal ini, Fahri pun juga menyarankan agar Presiden Jokowi segera melakukan sesuatu agar tak ada lagi mencoreng nama Kabinet Indonesia Maju, seperti mengevaluasi kinerja pembantunya agar semakin baik dan tak lagi sibuk menyebarkan wacana penundaan pemilu.
“Tidak ada cara lain kecuali Pak Jokowi memperbaiki konsolidasi kabinet. Supaya fokus kerja dengan jadwal mandat yang sudah ada,” tegas Fahri.
Discussion about this post