Kebijakan harus tes RT-PCR ketika menggunakan moda transportasi sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Terutama perihal cepatnya keijakan ini berubah-ubah. Dari mulai 27 Oktober hingga 4 November setidaknya sudah ada x kali perubahan kebijakan yang bikin bingung rakyat.
Meski harga tes PCR sudah diturunkan menjadi paling mahal Rp300 ribuan di luar Jawa Bali, namun pemerintah mengharuskan semua yang bepergian dengan jarak lebih 250 km harus wajib PCR. Tak lama, penumoang pesawat diperbolehkan tidak PCR, hanya antigen. Dan per 4 November 2021, kebijakan ini resmi dihapus.
Kebijakan Berubah-ubah, Publik: Pemerintah Tidak Tegas
Adanya peraturan yang berubah-ubah ini tak pelak membuat publik menilai bahwa pemerintah tidak tegas dalam menentukan kebijakan menangani penyebaran virus Covid-19.
Seperti komentar dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra, “Situasi ini cukup membingungkan seolah-olah pemerintah tidak punya evidence based atau fakta dan data dalam pengambilan keputusan,” katanya.
Hermawan menyoroti jika memang tes PCR sebagai screening penting untuk dilakukan, harusnya PCR digratiskan agar terjangkau oleh seluruh masyarakat.
Senada dengan Hermawan, Epidemiolog Univesitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan tes PCR sebagai screening perjalanan merupakan gold standard yang harus tetap dilakukan dan tidak perlu mengubah aturan, seperti menghapusnya dari syarat perjalanan dengan moda transportasi pesawat.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, ini semua merupakan wujud kehati-hatian akan peluang kenaikan kasus Covid. Dan sangat wajar bila kebijakan-kebijakan mengenai syarat tes Covid-19 dilakukan.
Meski sudah dijelaskan seperti itu, kecurigaan- kecurigaan dari publik malah meningkat dan memunculkan dugaan-dugaan yang spekulatif.
Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menyatakan di balik perubahan aturan dari pemerintah soal tes usap RT-PCR ada suatu kepentingan penguasa yang mempengaruhi.
“Ini menunjukkan bahwa kebijakan itu merupakan usulan atau produk dari kelompok-kelompok tertentu. Paling tidak ada penguasa, politisi dan pengusaha mempengaruhi kebijakan. Artinya dia mempunyai akses terhadap kebijakan sehingga kemudian ada kepentingan entah bisnis, entah cuan yang kita lihat berkedok kebijakan. Jadi kebijakan ini dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi,” kata Trubus.
Reaksi Publik Soal Keterlibat Menko Luhut di Bisnis PCR
Dan kecurigaan publik tidak perlu waktu lama untuk terungkap, Majalah Tempo melaporkan bahwa tidak hanya ada kepentingan bisnis dibalik tes PCR, namun ada pula nama-nama yang terlibat dalam pusaran bisnis tersebut, yaitu salah satunya yang paling membuat berang seluruh lapisan masyarakat ialah Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan. Dua anak perusahaan terafiliasi dengan PT Genomik solidaritas Indonesia, perusahaan laboratorium penguji tes PCR.
Setelah pemberitaan Majalah Tempo, Mantan Ketua YLBHI, Agustinus Edy Kristianto merincikan lebih detail lagi nama-nama pemain di pusaran bisnis tes PCR. Ada Boy Thohir alis kakak Erick Thohir hingga Pengusaha Jack Budiman.
Warganet kemudian juga terlihat kompak menuliskan cuitan untuk menyindir keterlibatan Menko Marves di bisnis tes PCR. Hingga akhirnya, nama Menko Luhut langsung menjadi trending pertama di jagad media sosial Twitter pada Selasa, 2 November 2021.
Selain dari warganet, sudah banyak kritik-kritik pedas dari elite politik, tokoh masyakat hingga tokoh muslim yang mengecam perbuatan Menko Luhut. Semua tampak siap untuk mengawal kasus ini hingga di ujung penyelesaian.
Discussion about this post